Selasa, 04 Februari 2020

RM Sundoro


====== Raden Mas Sundoro ======
 (Sang Penantang 3 Imperium Eropa)

Sejak usia muda, Sultan Hamengku Buwono II telah menunjukkan diri sebagai seorang bangsawan yang berintegritas dihadapan musuh utama Belanda, Perancis dan Inggris. Selama hidupnya, beliau mengalami dua kali pemakzulan (tahun 1811 oleh Daendels, tahun 1812 oleh Raffles), dan tiga kali pembuangan (Penang 1812, Ambon 1817, dan Surabaya 1825).

Sultan HB II dilahirkan pada hari Sabtu Legi tanggal 7 Maret 1750 di lereng gunung Sindoro, daerah Kedu Utara. Ketika lahir, Sultan HB II diberi nama Raden Mas (RM) Sundoro. Nama ini diberikan sesuai dengan nama tempat kelahirannya yang berada di lereng gunung Sindoro.

RM Sundoro adalah putra Pangeran Mangkubumi, raja pertama di Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755 dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. Meskipun berstatus sebagai putra raja, masa kecil RM Sundoro tidak dialaminya dengan penuh fasilitas dan kebahagiaan layaknya seorang pangeran.

Pada saat dilahirkan, ayahnya sedang bergerilya untuk melawan VOC dan Kerajaan Mataram Surakarta di bawah Susuhunan Paku Buwono III. Medan perang Mangkubumi yang terbentang dari Kedu di utara sampai pesisir selatan dan dari Banyumas di barat hingga Madiun di timur membuat RM Sundoro hampir tidak pernah bertemu dengan ayahnya.

Sejak lahir hingga usia lima tahun, RM Sundoro diasuh oleh ibunya, Kanjeng Ratu Kadipaten, permaisuri kedua Pangeran Mangkubumi. Ketika perjuangan Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Pebruari 1755, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua (palihan nagari).

Sebagian kerajaan dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III di Surakarta, dan sebagian lagi diperintah oleh Mangkubumi yang menjadi raja baru. Kerajaan yang baru diberi nama Kesultanan Yogyakarta.

Setelah peristiwa palihan nagari ini, Sultan HB I membangun kompleks kraton baru di Yogyakarta dan membawa seluruh keluarganya ke kraton, termasuk GKR Kadipaten bersama putranya RM Sundoro. Sejak saat itu, RM Sundoro mulai tinggal di kraton dengan status sebagai seorang putra raja.

Kecintaan dan kepercayaan Sultan HB I terhadap RM Sundoro mulai tampak sejak mereka tinggal bersama. Ini terbukti dengan keinginan Sultan HB I menunjuk RM Sundoro sebagai putra mahkota pada saat ia dikhitan pada tahun 1758.

Sultan HB I mengetahui sifat putranya yang memiliki kekerasan jiwa sebagai akibat dari pengalaman hidupnya di wilayah pengungsian. Pengalaman hidup inilah yang membentuk watak RM Sundoro yang kelak dianggap sebagai pribadi yang keras dan tegas dalam pengambilan keputusan.

Meskipun ada beberapa orang calon lain, khususnya dari permaisuri pertama GKR Kencono yang berputra dua orang, Sultan HB I tetap memilih RM Sundoro sebagai putra mahkota. Keyakinan ini semakin kuat ketika dua putra dari GKR Kencono dianggap tidak memenuhi syarat sebagai putra mahkota.

Setelah Sundoro mulai tumbuh dewasa, Sultan HB I mulai berpikir tentang calon pendamping hidup. Untuk itu Sultan HB I berniat menjodohkan putranya dengan putri Sunan PB III. Ketika RM Sundoro berkunjung ke kraton Surakarta, tahun 1763 dan 1765, Sundoro disambut langsung oleh Sunan PB III.

Harapan yang ada dari kedua orang raja Jawa itu adalah bahwa dengan ikatan perkawinan ini, ketegangan politik yang selama ini terjadi antara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akan berkurang.

Akan tetapi, usaha tersebut gagal akibat adanya campur tangan Pangeran Adipati Mangkunegoro I yang juga menginginkan putri yang sama. Akibatnya RM Sundoro tidak berhasil mempersunting putri PB III.

Kejadian ini membuat hubungan kedua raja Jawa ini menjadi renggang. Faktor lain yang memicu ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta adalah sengketa perbatasan daerah.

RM Sundoro mulai menyadari bahwa baik dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755 maupun Perjanjian Semarang tahun 1774, kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Sebaliknya, wilayah VOC menjadi semakin luas.

Dengan adanya pembagian wilayah baru, VOC memperoleh kesempatan semakin besar untuk melakukan eksploitasi ekonomi yang berbentuk pemborongan sumber-sumber pendapatan raja-raja Jawa seperti tol, pasar, sarang burung, penambangan perahu, pelabuhan laut dan penjualan candu. 

Tekanan ekonomi dan politik VOC semakin intensif ketika kondisi fisik Sultan HB I maupun Sunan PB III semakin merosot setelah tahun 1780. Hal tersebut menumbuhkan kebencian RM Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing pada umumnya.

Pandangan ini memperkuat tekad Sultan HB I untuk mengukuhkan status Sundoro sebagai putra mahkota. Meskipun ada penentangan dari para pejabat VOC yang sudah menyadari sikapnya, Sultan HB I tetap menjadikan RM Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785.

Dengan statusnya yang baru, RM Sundoro memiliki wewenang yang lebih besar. Hampir semua tindakan yang berhubungan dengan Kesultanan Yogyakarta disetujui oleh ayahnya.

Setelah diangkat menjadi putra mahkota, langkah pertama yang diambilnya adalah melindungi kraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC, terutama dengan pembangunan benteng Rustenburg oleh Komisaris Nicolaas Harstink pada tahun 1765.

Setelah memperoleh izin dari ayahnya, RM Sundoro memerintahkan pembangunan tembok baluwarti yang mengelilingi alun-alun baik utara maupun selatan kraton Yogyakarta.

Di bagian depan bangunan ini diperkuat dengan pemasangan 13 buah meriam. Senjata ini diarahkan ke depan menghadap benteng Rustenburg. Pembangunan yang dimulai pada tahun 1785 itu terus berlangsung hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan HB II.

Ketika Sultan HB I wafat pada tanggal 24 Maret 1792. Perhatian para pejabat VOC kembali beralih ke Yogyakarta. Sesuai tradisi dan kesepakatan yang dibuat dengan VOC, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Pieter Gerard van Overstraten  mengukuhkan dan melatik RM Sundoro sebagai Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792.

Berbeda dengan Sunan PB IV yang hanya berambisi untuk memulihkan kekuasaan ayahnya sebagai raja Mataram, tujuan utama Sultan HB II adalah menjadikan Kesultanan Yogyakarta sebagai suatu kerajaan Jawa yang besar, berwibawa dan disegani oleh para penguasa Eropa.

Bertolak dari konsep ini, Sultan HB II bertekad untuk menolak semua intervensi Belanda yang mengakibatkan merosotnya kewibawaan raja Jawa dan berkurangnya wilayah kekuasaan raja-raja Jawa.

Konflik terbuka pertama terjadi antara Sultan HB II dan VOC. Peristiwa ini berlangsung tidak lama setelah  pelantikannya. Gubernur van Overstraten meminta kepada Sultan HB II agar dalam setiap acara pertemuan dengan sultan, kursinya disejajarkan dan diletakkan di sebelah kanan kursi sultan.

Sultan HB II dengan tegas menolak tuntutan Overstraten itu. Karena tidak berhasil memaksakan kehendaknya, Overstraten melaporkan hal itu ke Batavia. Sebaliknya pemerintah VOC di Batavia yang sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan dan menghadapi blokade Inggris bermaksud mencegah insiden yang bisa menimbulkan konflik dengan raja-raja Jawa.

Gubernur Jenderal Arnold Alting melarang Van Overstraten bertindak lebih jauh. Sampai ia diganti oleh J.R. Baron van Reede tot de Parkeler pada tanggal 31 Oktober 1796, tuntutan itu tidak pernah dikabulkan oleh Sultan HB II. Utusan Belanda tetap diperlakukan seperti seorang utusan para penguasa taklukan di depan Sultan HB II.

Parkeler yang mengetahui diri Sultan HB II dari van Overstraten bertindak hati-hati. Pertemuan politik pertama dengan sultan ini terjadi pada bulan Agustus 1799 ketika Parkeler menghadiri acara pemakaman Patih Danurejo I.

Menurut perjanjian tahun 1743, raja Mataram wajib meminta pertimbangan VOC sebelum menunjuk seseorang menjadi patih. Sultan HB II berusaha menghindari hal itu dengan alasan bahwa Kesultanan Yogyakarta bukan Kerajaan Mataram dan Sultan berhak mengangkat patihnya sendiri.

Tetapi melalui perundingan dan pembicaraan yang dilakukan, akhirnya Parkeler berhasil membujuk Sultan HB II untuk memperbaharui perjanjian itu. Pada bulan September 1799 Sultan HB II bersedia menandatangani perjanjian baru yang memuat pengangkatan patih baru.

Setelah perjanjian ini disahkan, Sultan HB II mengangkat Tumenggung Mangkunegoro, cucu Patih Danurejo I, yang bergelar Patih Danurejo II.

Meskipun terdapat perjanjian baru, sikap Sultan HB II kepada orang-orang Belanda tidak berubah. Sultan HB II dengan tegas menolak intervensi para pejabat Belanda di dalam kehidupan kraton Yogyakarta.

Para pejabat Republik Bataf yang berkunjung ke Yogyakarta, baik sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa maupun sebagai residen Yogyakarta, mengeluhkan sikap keras Sultan HB II yang tidak bisa diajak bekerjasama kepada pemerintah pusat di Batavia.

Akan tetapi kondisi perang di Eropa yang semakin meluas ke perairan Asia telah mencegah para petinggi Belanda di Batavia untuk terseret dalam konflik baru di dalam wilayah mereka yang menguras tenaga dan biaya.

Sejauh ini mereka hanya bertugas mengawasi dan menjaga hubungan baiknya dengan Kesultanan Yogyakarta.

Kondisi baru berubah setelah serah terima Gubernur Jenderal dari Albertus henricus Wiese kepada Herman Willem Daendels pada tanggal 14 Januari 1808 sebagai wakil Petancis di Hindia-Belanda.

Langkah politik pertama Daendels khususnya terhadap raja-raja pribumi ditunjukkan dengan tuntutannya bahwa semua raja pribumi di Jawa harus tunduk kepada Raja Belanda, Louis Napoléon, yang berada di bawah perlindungan Kaisar Napoléon Bonaparte.

Bertolak dari kebijakan ini, Daendels mengubah hubungan antara pemerintah kolonial dan raja-raja Jawa sama seperti dengan raja Belanda, karena pemerintah Belanda di Batavia mewakili raja Belanda.

Langkah yang diambil oleh Daendels untuk mewujudkan maksud ini adalah dengan mengeluarkan dua peraturan baru. Pertama adalah menghapuskan jabatan residen di masing-masing kerajaan Jawa dan menggantikannya dengan pejabat baru, yaitu minister.

Berbeda dengan residen yang merupakan pegawai pemerintah kolonial, minister adalah utusan dari Raja Belanda di Batavia yang mewakili kepentingan penguasa Belanda di kraton-kraton Jawa.

Yang kedua, adalah dikeluarkannya peraturan baru oleh Daendels tentang tata upacara penyambutan minister di setiap kraton Jawa. Karena statusnya sebagai wakil penguasa Eropa, minister harus diperlakukan sejajar dengan raja Jawa dalam hal status dan kedudukannya.

Minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam kraton. Minister juga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan sirih dan tuak kepada raja Jawa.

Daendels memerintahkan agar segera menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di kraton Jawa. Di Kesunanan Surakarta, Sunan PB IV segera menyanggupi untuk melaksanakannya.

Sebaliknya di kraton Yogya, peraturan baru yang hakekatnya mirip dengan tuntutan Van Overstraten tahun 1792 itu ditolak oleh Sultan HB II. Pieter Engelhard, Minister pertama di Yogyakarta, tetap diperlakukan seperti residen Belanda sebelumnya.

Ketika Pieter Engelhard menuntut agar peraturan itu dilaksanakan, Sultan HB II tidak bersedia menemuinya. Engelhard melaporkan hal ini kepada Daendels pada kesempatan kunjungan Daendels ke Semarang.

Setelah mendengar laporan Engelhard tentang sikap Sultan HB II, Daendels bermaksud untuk datang sendiri ke Yogya dengan maksud memaksa Sultan HB II untuk melaksanakannya.

Hamengkubuwono II marah, Hamengkubuwono II minta nasihat kepada patihnya Danuredjo : “Apa yang akan saya lakukan?” Danuredjo berkata singkat : “Sinuwun tidak boleh melawan, karena Daendels ini perwakilan Napoleon, Maharaja terkuat di dunia sekarang. Kita pasti kalah, baiknya kita permainkan saja Perancis, Inggris dan Belanda”. Hamengkubuwono II setuju.

Ketika Sultan HB II mendengar berita bahwa Daendels bermaksud datang ke Yogyakarta dengan membawa sejumlah besar pasukan, Patih Danurejo II diperintahkan untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa Sultan bersedia menerapkan aturan itu.

Pertemuan Daendels dan Danurejo II berlangsung di Kemloko. Ketika mendengar laporan Danurejo II, Daendels membatalkan maksudnya untuk berkunjung ke Yogyakarta dan kembali ke Batavia melalui Surakarta.

Persoalan kedua yang menimbulkan ketegangan antara Daendels dan Sultan HB II adalah tuntutan Daendels untuk pengambilalihan hak pengelolaan hutan dan penyerahan monopoli penebangan kayu milik raja-raja Jawa.

Daendels menghendaki agar monopoli penebangan kayu dikuasai oleh pemerintah mengingat persediaan kayu di hutan-hutan pemerintah tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur pertahanan Jawa.

Bagi Kesunanan Surakarta yang tidak memiliki banyak hutan, tuntutan itu bukan merupakan masalah. Sebaliknya, bagi Kesultanan Yogyakarta hal ini menjadi masalah besar, mengingat kayu menjadi salah satu sumber pendapatan utama kraton Yogyakarta.

Wilayah hutan Yogyakarta terletak di Monconegoro wetan, yaitu daerah Madiun sampai ke Mojokerto (dahulu bernama Japan). Wilayah ini diperintah oleh menantu Sultan HB II yang sekaligus menjadi panglima pasukan Kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo Prawirodirjo.

Ketika Ronggo mendengar tuntutan Daendels, ia mengusulkan kepada Sultan HB II agar menolak tuntutan itu. Ronggo siap menjamin keselamatan Sultan dan Kesultanan apabila Daendels marah terhadap penolakan tersebut. Ronggo yang dianggap sering mengganggu penduduk di Delanggu (perbatasan Kraton Surakarta dan Yogyakarta) dianggap sebagai pemberontak oleh Daendels.

Oleh karena itu, ia mendesak sultan untuk segera menyerahkan Ronggo kepada Daendels pada bulan November 1810. Ronggo yang merasa memperoleh dukungan dari kraton Yogyakarta, khususnya dari kalangan kerabat kraton (Pangeran Notokusumo, Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat) menolak menyerahkan diri.

Akibat tekanan yang terus menerus, akhirnya HB II bersedia memenuhi tuntutan Daendels untuk mengirim Ronggo, Notokusumo dan Notodiningrat ke Batavia. Tetapu di tengah perjalanan, Ronggo memisahkan diri dengan rombongan untuk kembali memberontak.

Ronggo kembali ke Madiun dengan membakar desa-desa wilayah Kesunanan Surakarta. Ketika pada akhir November 1810 Daendels mendengar berita kembalinya Ronggo ke Madiun, ia memerintahkan agar pasukan gabungan dibentuk di bawah Letnan Paulus dengan tujuan menangkap Ronggo hidup atau mati.

Melalui Pieter Engelhard (Minister Yogyakarta), Daendels mendesak Sultan HB II agar ikut mengirim pasukan. Sultan HB II kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Purwodipuro.

Pasukan dari Yogyakarta mulai berangkat ke Madiun pada awal Desember 1810. Pasukan gabungan Belanda, Kesultanan, Kesunanan dan Legiun Prangwedanan ini berhasil merebut pusat pertahanan Ronggo di Maospati pada tanggal 5 Desember 1810.

Ronggo yang terdesak mundur bersama sisa pasukannya melarikan diri ke Kertosono. Setelah dilakukan pengepungan oleh Letnan Paulus, akhirnya Ronggo berhasil ditembak mati pada tanggal 19 Desember 1810 dan jenazahnya dibawa ke Yogyakarta.

Atas perintah Daendels, jenazah Ronggo dipamerkan di alun-alun Yogyakarta sebagai peringatan bagi setiap orang yang menentang perintahnya. Setelah Ronggo terbunuh, Daendels melihat bahwa pemerintah kolonial telah mengalami kerugian yang besar akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh Ronggo, dan curiga keterlibatan Sultan HB II dalam peristiwa tersebut.

Oleh karena itu, Daendels memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.300 tentara. Pasukan sejumlah itu dibawa oleh Daendels untuk memaksa Sultan agar bersedia melakukan perubahan di Kraton sekaligus menurunkan Sultan HB II dan mengangkat putranya menjadi Sultan.

Berita kekalahan Ronggo baru diterima oleh Sultan tanggal 26 Desember 1810. Kematian Ronggo dilaporkan kepada Gubernur Jenderal yang saat itu sudah sampai di Kemloko yang jaraknya beberapa kilometer dari Yogyakarta. Dari Kemloko Daendels membalas surat

HB II yang intinya Sultan tidak perlu merasa takut karena ia hanya membawa 3.200 tentara yang digunakan untuk melindungi Sultan dari musuh-musuhnya. Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa 15 hingga 16 ribu tentara telah disiapkan untuk menuju ke Yogyakarta.

Pada tanggal 28 Desember Sultan membalas surat Daendels yang intinya Sultan bersedia menjalankan nasehat persahabatan Daendels.

Setelah sampai di Yogyakarta, Daendels mengadakan pembicaraan dengan para pangeran kraton Yogyakarta yang intinya meminta dukungan untuk menurunkan Sultan HB II dari tahtanya dan menggantikannya dengan putra mahkota RM Surojo. 

Pada tanggal 31 Desember 1810 Sultan HB II turun tahta. Ia tetap diizinkan tetap tinggal di kraton Yogyakarta. Putra mahkota diharuskan untuk menandatangani beberapa perjanjian dan kontrak politik baru.

Dalam kontrak itu disebutkan bahwa penguasa Yogyakarta bersedia melaksanakan aturan-aturan penyambutan Minister, membayar biaya pengiriman pasukan, menyerahkan hak monopoli kayu dan pertukaran beberapa daerah Kesultanan dengan wilayah pemerintah.

Selain itu, Daendels juga menuntut agar Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat diserahkan kepadanya. Kedua orang ini kemudian dibawa oleh Daendels sebagai tawanan perang dan dimaksudkan akan dihukum mati.

Untuk sementara keduanya ditawan di Cirebon di bawah pengawasan Residen Waterloo. Perjanjian baru yang dibuat pada bulan Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan, mengingat pada bulan Mei 1811 Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens.

Janssens memusatkan perhatian pada pertahanan Jawa dari serangan Inggris. Meskipun dibantu oleh pasukan dari raja-raja Jawa, pertahanan Janssens tidak mampu menghadapi serbuan Inggris yang mendaratkan pasukannya pada tanggal 4 Agustus 1811.

Setelah bertahan sekitar satu setengah bulan, Janssens menyerah pada tanggal 18 September 1811 di Tuntang. Sejak itu Jawa berada di bawah penguasaan kolonial Inggris dengan Thomas Stamford Raffles sebagai letnan Gubernur Jenderal.

Pergantian rezim kolonial yang berlangsung cepat ini diketahui oleh Sultan HB II yang juga disebut Sultan Sepuh, yang masih tinggal di kraton Yogyakarta.

Dengan dukungan menantunya yang lain, Tumenggung Sumodiningrat, panglima pasukan kraton, Sultan Sepuh mengambil alih kembali tahtanya dan menurunkan status putra mahkota menjadi pangeran kembali yang tidak memiliki kekuasaan sama sekali.

Langkah berikutnya setelah ini adalah menyingkirkan orang orang yang dianggap membahayakan kedudukannya. Patih Danurejo II, yang juga menantunya, diperintahkan untuk dibunuh karena dianggap menjadi kaki-tangan Daendels di dalam kraton. Begitu juga Minister P. Engelhard akan dibunuhnya melalui cara diracun, tetapi Engelhard yang menyadari situasi ini telah melarikan diri ke Kedu dan lolos dari usaha pembunuhan.

Pada awal Oktober 1811 utusan Raffles, Mayor Robison tiba di kraton Yogyakarta. Dalam pertemuan dengan Sultan HB II, Robison menyatakan bahwa kondisi lama tetap berlaku. Ini berarti semua perjanjian yang telah dibuat dengan Daendels tetap dipertahankan.

Sultan HB II mengajukan tuntutan kepada Robison agar dirinya diakui sebagai raja Yogyakarta dan wilayah yang telah dirampas oleh Daendels dikembalikan kepadanya. Robison bisa menerima tuntutan pengakuan sebagai raja tetapi tidak berhak memutuskan pengembalian wilayah itu dan harus menunggu kedatangan Raffles. Ini merupakan awal kekecewaan Sultan HB II terhadap pemerintah Inggris.

Raffles yang tiba di Yogyakarta pada awal Januari 1812 bersama Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat yang telah dibebaskan oleh tentara Inggris, untuk bertemu dengan Sultan HB II di rumah Residen Yogyakarta, John Crawfurd.

Dalam pertemuan pertama ini terjadi insiden kecil ketika tempat duduk Raffles di kraton Yogya dibuat lebih rendah daripada Sultan HB II. Raffles lalu datang dan hanya diiringi sepuluh pengawal pasukan khusus.

Bukannya disambut dengan rasa hormat oleh Hamengkubuwono II, Raffles malah dibentak “Kami turunan Sultan Agung, mengepung Batavia berbulan-bulan dan membuat orang Belanda gemetar ketakutan, maka kami tidak takut juga dengan Inggris..!!” teriak Hamengkubuwono II di dalam Siti Hinggil.

Setelah insiden berhasil diatasi, Raffles menjelaskan bahwa Sultan HB II tetap berkuasa di Yogyakarta tetapi wilayah dan hak-hak monopoli yang telah diserahkan kepada rezim kolonial sebelumnya seperti pemborongan pajak pantai, kayu dan hutan tidak bisa dikembalikan kepada Sultan HB II.

Sebaliknya Raffles meminta agar Sultan HB II tetap menjaga keselamatan putra mahkota, Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat.

HB II tidak puas dengan hasil pertemuannya dengan Raffles. Bahkan Sultan HB II semakin kecewa terhadap pemerintah Inggris. Hal ini diketahui oleh Sunan PB IV yang juga mengharapkan kembalinya wilayah Kesunanan akibat rampasan oleh Daendels.

Secara diam-diam Sunan PB IV mengutus Tumenggung Ronowijoyo untuk menghadap Sultan HB II dengan membawa surat. Dalam surat itu Sunan PB IV mengusulkan kerjasama untuk melawan Inggris dan bila berhasil akan membagi dua wilayah yang telah dirampas oleh orang-orang Eropa.

Sultan HB II menyetujui hal itu dengan mengirimkan Tumenggung Sumodiningrat. Kesepakatan kemudian tercapai di Klaten pada awal Mei 1812 antara Ronowijoyo dan Sumodiningrat.

Akan tetapi tanpa sepengetahuan Sultan HB II, Sunan PB IV mengutus Patih Cokronegoro untuk menemui putra mahkota Yogya. Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat ini, Cokronegoro menyampaikan bahwa Sunan PB IV menghendaki putra mahkota Surojo naik tahta dan bersedia membantunya.

Untuk itu, Sunan menawarkan kerjasamanya bangkit melawan Inggris dan ketika orang-orang Inggris berhasil diusir dari Jawa, wilayah Jawa akan dibagi dua antara Surakarta dan Yogyakarta.

Rencana konspirasi ini tercium oleh John Crawfurd yang segera mengirimkan berita itu kepada Raffles. Setelah menerima berita dari Crawfurd, Raffles memerintahkan Mayor Jenderal Gillespie untuk berangkat ke Yogya dan menyerbu kraton Yogyakarta.

Pada tanggal 20 Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Legiun Mangkunegaran berhasil menduduki kraton Yogyakarta. Setelah pendudukan dan penjarahan isi kraton, Raffles memerintahkan penangkapan Sultan HB II.

Atas perintah Raffles, Sultan HB II dibawa ke Batavia dan selanjutnya menunggu pengadilan di sana. Menurut keputusan pengadilan Inggris, Sultan HB II dijatuhi hukuman pembuangan ke Pulau Penang.

Pada tanggal 16 Juli 1812. Ia disertai oleh putranya Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertosono berangkat menuju Penang. Di pulau Penang, Sultan HB II dan keluarganya ditempatkan di bawah pengawasan Residen Inggris Mayor Farquhar.

Tempat penahanan mereka berada di benteng Fort Cornwallis dan untuk biaya hidupnya, pemerintah Inggris membebankannya pada Kesultanan Yogyakarta.

Selama masa penahanannya, sejumlah pengikut Sultan HB II di kraton Yogyakarta menunjukkan reaksi yang bisa mengancam keamanan dan ketertiban. Tokoh yang memberikan reaksi atas pembuangan ini adalah Tumenggung Mangkuwijoyo. Mangkuwijoyo adalah putra Mangkudiningrat yang menjadi menantu Sultan HB III.

Bersama-sama saudaranya, Mangkuwijoyo menyusun rencana untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Inggris. Rencana Mangkuwijoyo ini terdengar oleh Sultan HB III (Sultan Rojo) yang kemudian membujuknya agar Mangkuwijoyo mengurungkan niatnya.

Menurut nasehat Sultan HB III kepadanya, Mangkuwijoyo akan disiapkan menggantikan kedudukan ayahnya, Pangeran Mangkudiningrat. Oleh karena itu, ia disarankan untuk membatalkan niatnya untuk pemberontakannya.

Setelah mendengar nasehat  Sultan HB III, Mangkuwijoyo bersedia menggagalkan rencana pemberontakan itu dan kembali hidup tenang di Yogyakarta.

Pada awal tahun 1815 di Eropa diadakan kongres Wina. Kongres ini dihadiri oleh semua wakil negara Eropa yang terlibat dalam peperangan Napoleon, termasuk Prancis. Salah satu keputusan kongres itu adalah pemulihan wilayah seperti kondisi sebelum tahun 1795.

Dengan adanya kesepakatan ini, Inggris wajib mengembalikan Jawa kepada Belanda. Sebagai konsekuensi keputusan Kongres Wina, pada bulan April 1815, Raffles menerima berita ini dan ia mulai bersiap- siap meninggalkan Jawa.

Agar tidak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah Inggris, Raffles memutuskan untuk mengembalikan semua tawanan termasuk Sultan HB II. Atas instruksinya, Mayor W.P. Kree komandan Fort Cornwallis mengirim kembali Sultan HB II ke Batavia pada tanggal 10 April 1815.

Berita kembalinya Sultan HB II ke Jawa ini terdengar sampai ke Yogyakarta. Beberapa bangsawan Yogyakarta termasuk Raden Brontokusumo akan berangkat ke Batavia untuk menyambutnya.

Pada awal Mei 1815 kapal Naulitius yang membawa Sultan HB II tiba di pelabuhan Batavia. Brontokusumo bertemu dengan Sultan HB II dan mengadukan nasibnya sebagai wedono yang dipecat oleh Sultan HB III. Atas perintah Raffles yang marah kepada Brontokusumo, Brontokusumo ditangkap tetapi kemudian dibebaskan atas permohonan Sultan HB II.

Sejak itu setiap hari para bangsawan Yogyakarta datang untuk menemui Sultan HB II. Raffles tidak lagi mau berpikir tentang itu mengingat pada bulan tersebut ia harus meninggalkan Jawa dan kembali ke India.

Penggantinya John Fendall juga lebih memikirkan penyerahan Jawa kepada Belanda. Oleh karena itu, agar tidak muncul masalah baru, Fendall memerintahkan penahanan Sultan HB II di Batavia sampai penyerahan wilayah Jawa kepada Belanda.

Pada tanggal 9 Agustus 1816, setelah pembicaraan awal selama dua minggu, serah terima kekuasaan dari Inggris kepada Belanda berlangsung. Komisaris Jenderal Belanda yang menjadi penguasa baru memutuskan untuk membuang kembali Sultan HB II dari Jawa agar tidak mengganggu keamanan dan ketertiban politik di Jawa.

Pada 10 Januari 1817 Komisaris Jenderal memutuskan mengasingkan Sultan HB II ke Ambon. Sultan HB II berangkat bersama rombongannya pada awal Pebruari 1817 dengan kapal Naulitius ke Ambon. Rombongan itu tiba di Ambon pada akhir Maret 1817, HB II langsung dibawa ke Fort Victoria.

Atas keputusan Residen van der Wijck, Sultan dan keluarganya menempati perumahan yang sudah disiapkan di Batu Merah, dekat Fort Victoria. Sebulan kemudian di Ambon terjadi pemberontakan Saparua.

Meskipun pemberontakan berhasil ditumpas, ada tanda-tanda keterlibatan Pangeran Mangkudiningrat dalam pemberontakan tersebut. Ketika dilakukan pemeriksaan pada akhir Mei 1817, tidak terbukti bahwa Mangkudiningrat ikut terlibat.

Namun peristiwa lain menimbulkan kecurigaan Belanda ketika Mangkudiningrat menyatakan dirinya sebagai ratu adil dan mulai mengumpulkan orang-orang setempat untuk diberitahu tentang ilmu kesaktian yang dimilikinya.

Kendati tidak menimbulkan kerusuhan, Belanda tetap mengawasi Mangkudiningrat sampai kematiannya bulan Maret 1824. Sementara itu di Kesultanan Yogyakarta sejak tahun 1815 terjadi sejumlah pergantian kekuasaan.

Sultan HB III mendadak wafat dan digantikan oleh putranya, Sultan HB IV yang memerintah sampai tahun 1821. Mangkatnya Sultan HB IV secara tiba-tiba mengakibatkan kekosongan tahta.

Mengingat Sultan HB V (RM. Menol) masih berumur 2 tahun, pemerintahan sementara dipegang oleh para wali. Krisis politik yang diakibatkan oleh konflik kepentingan baik di antara para wali Sultan maupun antara mereka dan Belanda diperparah dengan eksploitasi ekonomi kolonial di Kesultanan Yogyakarta.

Hal ini mengakibatkan terjadinya pengunduran diri para wali pada awal Maret 1824. Residen Smissaert kemudian mengusulkan pengangkatan wali baru kepada Gubernur Jenderal van der Capellen.

Calon yang diusulkan adalah Tumenggung Mertosono yang ikut dalam pembuangan ke Ambon. Van der Capellen menyetujui dan pada tanggal 17 Maret 1824 Mertosono dibawa dari Ambon ke Yogyakarta.

Ketika Mertosono berangkat menuju Yogyakarta, Sultan HB II mendesak kepada Gubernur Maluku P. Merkus diperkenankan ikut pulang ke Jawa.

Meskipun pada mulanya van der Capellen menolak, seminggu kemudian Sultan HB II diizinkan kembali ke Jawa tetapi tidak diperkenankan tinggal di Yogyakarta mengingat kondisi politik memanas saat itu.

Atas izin van der Capellen, Sultan HB II diangkut dengan kapal Mastoza dan tiba di Surabaya pada bulan Juli 1824. Setibanya di pelabuhan Surabaya, Residen Surabaya menyambutnya dan segera membawa Sultan HB II ke sebuah rumah tahanan yang telah disiapkan di kampung Cina.

Sultan HB II diizinkan tinggal di sana dengan wajib lapor selama dua kali seminggu ke kantor residen di Surabaya. Kondisi Kesultanan Yogyakarta semakin tidak menentu, yang memuncak dengan meletusnya Perang Diponegoro tanggal 21 Juli 1825.

Minggu-minggu pertama peperangan menunjukkan kelemahan kekuatan Belanda di Jawa di bawah Jenderal M. De Kock. Laskar-laskar yang tergabung dalam pasukan Diponegoro berhasil meraih sejumlah kemenangan di berbagai medan pertempuran.

Korban yang jatuh tidak hanya terdiri atas orang-orang Eropa tetapi juga bangsawan pribumi yang bersekutu dengan Belanda. Salah satunya adalah Tumenggung Mertosono yang menjadi wali Sultan. Mertosono yang bergelar Pangeran Murdaningrat, terbunuh dalam pertempuran di Nglengkong bulan September 1826.

Hal ini mengkhawatirkan de Kock dan ia memutuskan untuk menyelesaikan pemberontakan ini secara politis dan bukan secara militer. Atas saran Residen Yogyakarta Nahuys van Burgst, de Kock harus memulihkan kepercayaan di kraton Yogyakarta.

Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak bangsawan Yogyakarta yang ikut bergabung dengan Diponegoro dan wibawa kraton merosot setelah terbunuhnya para wali Sultan HB V.

Mengingat tidak ada lagi yang layak diangkat menjadi wali, kekuasaan  Sultan HB V tidak mungkin dipertahankan. Nahuys menyarankan agar Sultan HB II dikembalikan di atas tahta.

Tujuannya adalah mengangkat penguasa yang sah agar memerintah Yogyakarta sekaligus menggunakan pengaruhnya untuk mengajak para bangsawan pemberontak kembali ke kraton Yogyakarta karena keseganan mereka terhadap Sultan Sepuh.

Usul Nahuys disetujui De Kock, yang kemudian membicarakannya dengan Van der Capellen. Meskipun ada beberapa pejabat Belanda yang tidak setuju dan van der Capellen digantikan oleh Du Bus, pengembalian Sultan HB II dari Surabaya tetap berlangsung.

Du Bus memutuskan agar Sultan HB II dilantik kembali sebelum dipulangkan ke Yogyakarta. Pelantikan akan diadakan di istana Gubernur Jenderal Belanda di Buitenzorg.

Pada tanggal 11 Agustus 1826 Sultan HB II dan rombongan meninggalkan Surabaya dan berangkat ke Buitenzorg. Pada tanggal 18 Agustus 1826, Sultan HB II memasuki istana Buitenzorg dan oleh Du Bus dikukuhkan kembali sebagai penguasa Yogyakarta.

Setelah upacara berlangsung, Du Bus memerintahkan De Kock membentuk komisi yang akan membantu penataan kembali pemerintahan di Yogyakarta.

Bersama komisi ini pada tanggal 10 September 1826 Sultan HB II meninggalkan Buitenzorg menuju ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 September 1826 rombongan Sultan HB II memasuki kraton Yogyakarta dan diumumkan bahwa sejak itu Sultan HB II memegang pemerintahan kembali.

Berita kembalinya Sultan HB II kemudian disebarluaskan oleh Nahuys agar terdengar oleh para bangsawan yang memberontak. Harapan Nahuys dan para pejabat Belanda lainnya adalah agar pengaruh Sultan HB II masih bisa digunakan untuk menarik kembali para bangsawan ke kraton.

Hal ini ternyata terasa pengaruhnya. Pada bulan November 1826 Pangeran Mangkudiningrat (Mangkuwijoyo) mendengar kabar bahwa kakeknya telah kembali ke kraton.

Mangkudiningrat yang bergerilya di daerah Kedu kemudian menyerahkan diri kepada Residen F.G. Valck dan komandan militer setempat Kolonel Cleerens bahwa ia akan kembali ke Yogyakarta.

Alasannya bahwa Mangkudiningrat hanya mengakui kakeknya sebagai raja yang sah di kraton. Pada tanggal 11 Desember 1826 Mangkudiningrat secara resmi kembali ke kraton dan meninggalkan Diponegoro. 

Kini Sultan Sepuh menuntut janji pemerintah Belanda yang akan memberikan tunjangan f 100.000 per tahun kepadanya. Residen Belanda van Sevenhoven menolak mengabulkan permintaan itu dan menyerahkannya kepada De Kock.

Untuk menenangkan Sultan HB II, De Kock memindahkan van Sevenhoven dan menggantinya dengan van Lawicks van Pabst. Pada bulan Maret 1827 pengaruh Sultan HB II kembali terasa di antara para pemberontak.

Meskipun Pangeran Mangkubumi tetap menolak menyerah, putra-putrinya menyatakan dirinya bersedia kembali ke kraton. Ini diikuti dengan penyerahan Pangeran Notoningrat tanggal 29 Maret 1827, Pangeran Notoprojo dan Pangeran Sumowijoyo pada bulan Juni 1827.

Para pangeran ini menyatakan kesetiaannya kepada Sultan HB II dan bersedia menghentikan perlawanan. Atas desakan Sultan HB II, para pangeran yang menyerah ini tidak dihukum oleh de Kock tetapi sebaliknya menerima penghargaan berupa pemberian tanah apanage.

Sejak Oktober 1827 kondisi fisik Sultan HB II yang berusia 77 tahun semakin merosot. Beban batin yang ditimbulkan oleh posisinya sebagai seorang Raja Yogyakarta dan harus berhadapan dengan anak dan cucunya sendiri semakin memperparah penyakitnya.

Akhirnya setelah mengalami radang tenggorokan, pada tanggal 2 Januari 1828 Sultan HB II wafat. Dua hari kemudian jenazahnya dimakamkan di pemakaman raja-raja di Imogiri.

Sumber:

Djoko Marihandono, Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono II : pembela tradisi dan kekuasaan Jawa.

Di Singapura-lah Rahasia Kekayaan Inggris Berada, theglobal-review.com

Senin, 18 November 2019

Biografi singkat Buya Yahya


Buya Yahya merupakan salah satu tokoh ulama muda yang sangat terkenal terutama di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Sebetulnya nama asli beliau adalah Kiai Haji Yahya Zainul Maarif namun lebih terkenal dengan sapaan Buya Yahya. Sosok Buya Yahya memang begitu menarik perhatian di kalangan umat Islam tanah air karena beliau dikenal sebagai ulama muda yang tinggi keilmuannya. Selain itu, Buya Yahya juga merupakan ajeungan sekaligus pengelola ma’had (Pondok Pesantren) Al-Bahjah Cirebon. Dibalik sosok Buya Yahya yang begitu populer ternyata beliau memiliki perjalanan hidup yang menarik untuk disimak yang terangkum dalam biografi Buya Yahya berikut ini.

Profil Biografi Buya Yahya

Sosok Buya Yahya yang begitu populer di wilayah Jawa Barat mungkin banyak yang mengira bahwa beliua lahir di Jawa Barat. Namun siapa sangka beliua justru lahir di wilayah Jawa Timur. Ustad Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya lahir pada tanggal 10 Agustus 1973 di Kabupaten Blitar. Buya Yahya merupakan putra dari Mbah Jamzuri atau yang akrab disapa Mbah Kakung. Sejak kecil ayah beliau mendidik sedangkan sang ibu yang akrab disapa dengan Mbah Uti yang paling banyak memberikan Tarbiyah. Dengan demikian tak heran bila kini sosok Buya Yahya menjadi sosok besar pemersatu umat. Buya Yahya memiliki seorang istri bernama Fairuz ar-Rohbini dan dari pernikahannya tersebut beliau dikaruniai 4 orang anak.

Riwayat Pendidikan Buya Yahya

Beliau menempuh pendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Pertama di Blitar sambil mengikuti Madrasah Diniyah yang diasuh oleh KH. Imron Mahbub. Pada tahun 1988 sampai 1993, Buya Yahya kembali melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah di Bangil. Kala itu pesantren tersebut diasuh oleh Habib Hasan bin Ahmad Baharun.
Pada tahun 1993 sampai 1996, Buya Yahya pernah mengajar di Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah Bangil.Namun di tahun 1996 Buya Yahya berangkat ke Universitas Al Ahgaff Yaman atas perintah dari Habib Hasan Bin Ahmad Baharun. Beliau menempuh pendidikan di Yaman selama 9 tahun atau tepatnya sampai tahun 2005. Tidak hanya menempuh pendidikan di Universitas Ahgaff, Buya Yahya juga belajar di Rubath Tarim yang diasuh oleh Habib Salim Asyasyatiri.
Ketika Buya Yahya menempuh pendidikan di Yaman, beliau memang banyak belajar mengenai ilmu fiqih dari para Mufti Hadramaut diantaranya adalah Habib Ali Masyur bin Hafid, Syekh Fadhol Bafadhol, dan Syekh Muhammad Al Khotib. Selain ilmu fiqih, beliau juga belajar mengenai ilmu hadist dari para ahli hadist diantaranya Sayyid Amad bin Husin Assegaf, Habib Salim Asysyatiri serta DR. Ismail Kadhim Al Aisawi. Selain itu Buya Yahya juga mengambil ilmu ushul fiqih dari ulama-ulama ahli. Selain belajar, Buya Yahya juga pernah mengajar di Fakultas Tarbiyah dan Dirosah Ilamiah di Universitas Ahgaff Yaman selama 3 tahun.

Awal Mula Berdakwah di Cirebon

Sesudah menghadap Al Murobbi di Yaman lalu memperoleh izin di tahun 2006, Buya Yahya mulai berdakwah dengan penuh kesabaran dan tawakkal kepada Allah SWT. Dakwah tersebut beliau mulai dari mushola ke mushola kecil dengan menjadi pengisi berbagai majelis ilmu hingga berlanjut ke majelis-majelis taklim. Bahkan kala itu beliua juga sempat hadir di Majid At-Taqwa Alun-Alun Cirebon untuk mengisi majelis ilmu.

Pada mulanya saat Buya Yahya menyampaikan majelis taklim, hanya sekitar 20 rang saja yang hadir. Tetapi lama kelamaan jumlah jamaah yang hadir semakin banyak dan memnuhi ruangan maupun halaman masjid. Selanjutnya Buya Yahya sering menghadiri majelis taklim yang ada di berbagai tempat mulai dari Kota Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, serta Jabodetabek. Bahkan beliau juga tidak pernah membatasi dalam berdakwah hanya di masjid saja. Sebab beliau juga berdakwah di toserba maupun swalayan.
Selanjutnya majelis asuhan Buya Yahya tersebut diberi nama Majelis Al-Bahjah yang juga merupakan nama pesantren yang beliau rintis. Hadirnya pesantren Al-Bahjah ini bagi Buya Yahya merupakan bagian dari upaya untuk menyampaikan dakwah Rasullulah SAW. Dipilihnya nama Al-Bahjah sebagai nama pondok pesantren juga tidak terlepas dari makna indah yang terkadang dalam nama tersebut. Sebab Al-Bahjah berarti kemilau sinar atau cahaya yang mempunyai harapa agar nantinya pesantren tersebut menjadi penerang untuk umat Nabi Muhammad SAW.
Selain berdakwah di mushola, masjid dan tempat-tempat lainnya, Buya Yahya juga pernah berjuang selama satu tahun di stasiun radio Salma 101 FM. Kala itu Buya Yahya merupakan direktur operasional radio Salma kemudian beliau mencoba menghadirkan dakwah melalui radio. Dakwah tersebut dilakukan dengan membuat program pesantren udara dengan mengisi acara radio melalui pengajian-pengajian. Selain itu saat bulan Ramadhan tiba, Buya Yahya ikut terlibat dalam media cetak dengan mengasuh rubrik tanya jawab di koran harian Radar Cirebon dan tetap aktif mengisi artikel di hari Jumat dalam Oase Iman. Beliau juga mengasuh rubrik masail diniyah di sebuah majalah Islami Al-Basyirah yang terbit di wilayah Jawa Timur.
Dalam setiap majlis ilmu yang beliau hadiri, selalu dipenuhi oleh para mustami’ dan thullabul ‘ilmi pada malam senin dan selasa. Kehadiran mereka tersebut hanya untuk hadir di roudhotul jannah atau majlis ilmu yang diampu oleh Buya Yahya. Namun beliau selalu meyakini bahwa keberhasilan tersebut tidak terlepas dari izin Allah SWT. Bahkan sikap hormat beliau kepada para masyaikh ketika masih berada di Yaman dahulu kini membuahkan hasil. Sebab atas izin Allah SWT, kini para mustami’ dan thullab menampakkna sikap hormat pada Buya Yahya.

Buya Yahya Mendirikan Pondok Pesantren

Dalam perjalanan dakwahnya, majelis Al-Bahjah yang dirintis oleh Buya Yahya akhirnya berkembang menjadi pesantren yang berdiri pada tahun 2008. Pesantren yang bernama Al-Bahjah tersebut didirikan di Kelurahan Sendang, Kecamatan Sumber, Cirebon. Berdirinya pesantren ini merupakan permintaan dari warga sekitar yang sangat ingin menitipkan anak-anaknya di pesantren. Setelah proses pembangunan selama kurang lebih 1,5 tahun akhirnya pesantren tersebut diresmikan tepatnya pada Januari 2010.

Pesantren Al-Bahjah sendiri mempunai beberapa kampus yaitu kampus utama yang terletak di Cirebon yang dibangun tahun 2008. Selain itu Al-Bahjah juga mempunyai banyak unit usaha diantarana mini market AB Mart, Radio_QU, Al-Bahjah TV, SDIQU Al Bahjah, SMPIQU Al Bahjah, SMAIQU Al Bahjah, dan lain-lain. Unit-unit usaha yang dimiliki oleh Al Bahjah tersebut rata-rata memang digerakkan oleh santri atau yang disebut dengan santri khusus. Tak hanya bergerak dalam bidang dakwah dan sosial, santri khusus tersebut juga ada yang bertugas di dapur umum.
Pesantren Al Bahjah memang begitu kental dengan nuansa Nahdliyin padahal sebetulnya pesantren ini bukanlah milik dari ormas Nahdatul Ulama. Uniknya, pesantren Al-Bahjah ini juga menerapkan peraturan bagi santrinya untuk wajib berbahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Tak perlu khawatir untuk santri baru karena akan diberikan waktu selama tiga bulan untuk berdaptasi dengan lingkungan pesantren.

Jaringan Pendukung Dakwah

Bila dibandingkan ustad pesantren lainnya, Buya Yahhya memang selangkah lebih modern. Hal tersebut bisa terlihat dari perubahan dakwah Buya Yahya dengan LPD Al-Bahjah yang semakin melebarkan sayap. Untuk itulah beliau menggunakan jaringan radio dan TV Al Bahjah dengan aktif menyiarkan ceramah maupun pengajiannya. Bahkan video-video pengajian dari Buya Yaha tersebut bisa dibuka melalui situs maupun Youtube. Seiring dengan semakin populernya Buya Yahya, dakwah beliau kini semakin merambah ke mancanegara. Selain itu, Buya Yahya juga pernah ikut berdakwah di media televisi nasional diantaranya TV One, TVRI, MNCTV dan tetap aktif mengisi acara dialog interaktif di Cirebon TV.

Diskusi Dengan Wahabi

Buya Yahya merupakan tokoh kultural Aswaja yang memang begitu gigi dalam membela faham Ahlusunnah yang telah digerakkan oleh sebagian besar umat muslim di Indonesia. Meskipun begitu ada saja faham dari aliran lain yang agresif serta bertabrakan dengan menyebarkan pahamnya dalam berbagai media. Untuk menghindari adanya perseteruan tersebut maka beberapa tokoh mengadakan diskusi dengan duduk bersama dengan mengedepankan pada dalil maupun landasan pemahaman masing-masing.
Untuk itulah Buya Yahya mengadakan diskusi terbuka dengan mengajak toko-tokoh salaf wahabi. Video tersebut kemudian diupload ke youtube dan tampak memperlihatkan kealiman dan kearifan Buya Yahya dalam berdiskusi maupun berdebat. Hal tersebut bisa terlihat dari diskusi yang dilakukan dengan Profesor Salim Bajri dan Ustad Ahmad Thoharoh. Dimana perbincangan mereka tersebut ditayangkan di TV lokal Cirebon.

Respon Pada Gosip Kontroversial

Buya Yahya merupakan sosok yang banyak dijadikan referensi oleh umat muslim. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Buya Yahya juga pernah dihadapkan pada pertanyaan dari jamaah yang berkaitan dengan gosip agama yang sedang berkembang. Dalam beberapa permasalahan, beliau juga menentang statemen kontroversial yang disampaikan oleh sesama ustad. Dari beberapa gosip kontroversial yang pernah ia tanggapi yaitu yang diucapkan oleh K.H Said Aqil Siradj yang berhubungan dengan jenggot. Ungkapan dari K.H Said memang kerap dipelintir dan disalahpahami oleh orang lain. Namun hal tersebut disikapi keras oleh Buya Yahya.
Selain itu Buya Yahya juga pernah menyikapi pernyataan dari Prof. Quraish Shihab yang berkaitan dengan jaminan surga untuk Nabi Muhammad SAW. Dari beberapa gosip yang bermunculan tersebut intinya beberapa ustad tersebut sama-sama memperjuangkan eksistensi Aswaja yang tidak sama-sama menyalahkan. Hanya saja terkadang ungkapan yang multitafsir dan sepintas bisa diartikan berbeda oleh oranglain. Hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh oranglain yang tak bertanggungjawab untuk mengadu pendapat dan sanggahan antar ustad. Tetapi fenomena sama-sama sanggahan lewat video tersebut tidak ada tindak lanjut tanpa adanya pertemuan langsung dari pihak-pihak yang saling berkaitan. Hal tersebut menjadi senjata bagi pihak tertentu untuk semakin menjatuhkan wibawa dan citra ustad.
Sumber:
https://ponemoslamusica.org/biografi-buya-yahya/

Minggu, 21 April 2019


ﺑِﺴْــــــــــــــﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ِﺍﻟﺮَّﺣِﻴـــــﻢ

  1. “ KISAH SAYYDAH FATIMAH AZ ZAHRA 

رضي الله عنها  
Binti RASULULLAH S.A.W “

Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke 4 dari anak anak Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid Radyallah’anhum, Sesungguhnya allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fathimah yang mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai menengah ketika terjadi perselisiha antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’abah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang hampir menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada di Makkah.

Kelahiran Fahimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan nama Fathimah dan julakannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).

Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya.sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya.

Pada saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fathima R.a, dan kakanya Ummu Kulsum R.a, tetap tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya.Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar R.a, para sahabat berusaha meminag Fathimah. Abu Bakar dan Umar R.a, maju lebih dahulu untuk meminang tapi nabi menolak dengan lemah lembut.Lalau Ali bin Abi Thalib R.a, datang kepada Rasulullah saw,untuk melamar, lalu ketika nabi bertanya ; “Apakah engkau mempunyai sesuatu ?”, Tidak ada ya Rasulullah,” jawabku. “ Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu,” Tanya beliau. “ Masih ada padaku wahai Rasulullah,” jawabku. “Berikan itu kepadanya (Fatihmah) sebagai mahar,”.kata beliau.

Lalu ali bin abi thalib R.a, bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affan R.a, seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin.

Kaum muslim merasa gembira atas perkawinan Fathimah dan Ali bin Abi Thalib R.a, setelah setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Al- Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H. pada tahun kelima H ia melahirkan anak perempuan bernama Zainab dan yang terakhir benama Ummu Kultsum.

Rasullah sangat menyayangi Fathimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fathimah sebelum menemui istri istrinya. Aisyah r.a,berkata ;
” Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fathimah, jika ia dating mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fathimah bila Rasulullah dating mengunjunginya.”.

Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya takala diatas mimbar:” Sungguh Fathima bagian dariku , Siapa yang membuatnya marah berarti membuat aku marah”. Dan dalam riwayat lain disebutkan,” Fathimah bagian dariku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.”.

Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia melihat Fathima, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata,” Selamat dating wahai putriku”. Lalu Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikan sesuatu, sehingga Fathimah menangis dengan tangisan yang keras, tak kala Fathimah sedih lalu Beliau membisikan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fathimah tersenyum.

Takala Aisyah bertanya tentang apa yang dibisiknnya lalu Fathimah menjawab,” Saya tak ingin membuka rahasia”. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fathimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dan tersenyum. Lalu Fathimah menjawab,” Adapun yang Beliau kepada saya pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Qura’an dengan hapalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau berkata “Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah Aku.”. Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Beliau membisikan yang kedua kali, Beliau berkata,” Wahai Fathimah apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian saya tertawa.

Takala 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Fathimah jatuh sakit, namaun ia merasa gembira karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian iapun beralih ke sisi Tuhannya pada malam selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun.

و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
وَ الـلَّــــهُ اَعْــلَـــمْ بِالصَّــــوَابِ
بَارَكَ اللّهُ فِيْكُمْ

۞ اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ۞

• Sumber : biografi ahlulhadits
• Foto : Di sini dahulu rumah Sayyidah Fatimah Az Zahra, رضي الله عنها bersama sayidina Ali kwh, hasan & husen R.a. foto: by.sykh mohamad aslam.